Diterbitkan pada 31 October 2024
Oleh: Admin
Dilihat: 68 Kali
Bumi Bebas Plastik. Mungkin Atau Mustahil?
Source: Living Planet Magazine
Bagikan

Oleh: Eka Utami Aprilia

Di hadapan puluhan peserta acara “Healing Asik Bebas Plastik” yang duduk di sisi Situ Rawa Kalong, Depok, pada 8 Juni 2024, Policy & Governance Specialist, WWF-Indonesia, Andik Hardiyanto melempar sebuah pertanyaan. “Bumi tanpa plastik. Apakah sebuah ambisi yang mustahil atau bisa dicapai?” kata Andik membuka topik pembicaraan.

Sebelum ada peserta yang menyampaikan pendapatnya, Andik melanjutkan dengan menanggapi pertanyaannya sendiri. “Jawabannya: bukan tidak mungkin sama sekali,” katanya. Alasannya, sambung Andik, semua orang bisa beraksi untuk mengurangi atau menghentikan kebocoran sampah plastik ke alam.

“Caranya gampang. Mulai dari hati dan niat. Kita bisa meminimalkan penggunaan plastik sekali pakai. Misalnya, waktu jalan-jalan ke Situ Rawa Kalong ini, siapkan wadah guna ulang seperti tumbler,” katanya.

Tidak hanya individu, kelompok masyarakat juga bisa turut serta mendukung upaya-upaya menuju Bumi bebas plastik. “Dengan pengembangan bank sampah untuk mendukung aktivitas pengelolaan sampah yang terorganisir,” katanya. Selain itu, peran pemerintah juga penting untuk menciptakan rencana aksi yang kuat.

Menurut Andik, setelah semua pihak aktif dalam pengelolaan sampah, selanjutnya perlu ada sebuah ekosistem. Dengan demikian setiap penggiat dan lembaga yang terlibat dapat saling terhubung dan mendukung. “Kemudian, harapannya terjadi perubahan perilaku di masyarakat,” ujarnya.

Pemaparan Andik tentang Bumi bebas plastik sebenarnya merupakan tujuan dari program Plastic Smart Cities (PSC). PSC merupakan inisiatif yang diluncurkan oleh WWF dengan misi untuk menginspirasi dan mendorong kota-kota di dunia untuk menghentikan terjadinya kebocoran sampah plastik ke alam pada tahun 2030. Dengan menyadari bahwa sumber polusi plastik tidak berasal dari satu negara, maka dibutuhkan kerja sama internasional dan aturan global.

Di Indonesia, program PSC mulanya diterapkan di Denpasar dan Makassar. Seiring perjalanan, program ini berkembang di Jakarta, Depok, dan Bogor. Ketiga kota tersebut dilalui lanskap Ciliwung yang merupakan area kerja WWF-Indonesia. Kebocoran sampah di kawasan ini datang dari rumah tangga, perusahaan, hingga pertokoan. “Kalau sampah tidak dikelola dengan baik, maka akan mengalir ke Ciliwung, mengganggu sistem sungai dan akhirnya mengotori laut,” kata Andik.

Senada dengan Andik, dalam kesempatan berbeda, Direktur Bank Sampah Induk Kita, Tety Sovia yang menjadi mitra PSC juga mengungkapkan pentingnya keterlibatan semua pihak untuk mengatasi isu sampah. Tety lalu memberikan tip pengelolaan sampah di rumah, di mana sampah kering dikumpulkan ke bank sampah dan sampah basah dimasukkan ke lubang biopori.“Sampah basah yang dimasukkan ke lubang juga bisa jadi kompos dalam 10-15 hari,” ujarnya.

Bahkan, lanjut Tety, masyarakat juga bisa menginisiasi bank sampah sendiri. Dengan menggandeng tokoh masyarakat yang berpengaruh, dan berkoordinasi dengan dinas lingkungan hidup agar dapat bantuan penyuluhan. Selain di lingkungan rumah, masyarakat juga bisa mendorong pengumpulan sampah anorganik di sekolah dengan menyediakan drop box.

Lebih lanjut, Tety mengatakan bahwa inisiatif pengelolaan sampah perlu datang dari masyarakat. “Pemerintah adalah pembuat regulasi. Sementara kita, masyarakat dan pelaku usaha adalah produsen sampahnya. Kita harus inisiatif. Sampahmu, tanggung jawabmu, sampahku, tanggung jawabku,” tutupnya.

 

Download Aplikasi AKSI dan Ambil Peranmu untuk Kurangi Sampah Plastik

Gabung sebagai nasabah Plastic Smart Cities sekarang dan dapatkan berbagai keuntungan dari menjaga lingkungan.

Scan disini

qrcode wwf

Atau dapatkan di

Panduan Aplikasi AKSI

WWF Indonesia

Baca lengkap publikasi ini
Artikel Lainnya
Publikasi Lainnya