Diterbitkan pada 07 September 2024
Oleh: Admin
Dilihat: 135 Kali
Siapa yang Menanggung Beban Polusi Plastik? Sebuah Krisis Global yang Tidak Adil
Source: PSC WWF Indonesia
Bagikan

Polusi plastik telah menjadi masalah serius yang mengancam kesehatan, lingkungan, dan ekonomi global. Namun, beban terbesar dari polusi ini justru ditanggung oleh negara-negara berpenghasilan rendah dan menengah (LMICs), meskipun kontribusi mereka terhadap produksi plastik jauh lebih kecil dibandingkan negara-negara maju. Laporan dari WWF berjudul "Who Pays for Plastic Pollution?" mengungkap ketidakadilan dalam rantai nilai plastik global dan pentingnya perjanjian global untuk mengakhiri krisis polusi plastik.

Dampak Polusi Plastik Terhadap Negara Berkembang: Biaya Nyata yang Tak Terlihat

Laporan WWF menyoroti bahwa dampak ekonomi, sosial, dan lingkungan dari plastik jauh melampaui biaya produksinya. Sementara banyak negara maju memiliki infrastruktur yang lebih baik untuk mengelola plastik, negara-negara berkembang justru menanggung beban yang jauh lebih berat.

1. Biaya Lingkungan

Negara berkembang menghadapi tantangan besar dalam mengelola polusi plastik, dengan biaya yang berlipat ganda akibat kapasitas infrastruktur yang terbatas. WWF melaporkan bahwa biaya siklus hidup plastik di negara-negara berpenghasilan rendah dan menengah (LMICs) mencapai 8 kali lipat lebih tinggi dibandingkan dengan negara maju. Ini terjadi karena:

  • Peningkatan risiko banjir: Sampah plastik sering kali menyumbat saluran air, menyebabkan banjir yang lebih sering dan parah. Misalnya, di India, penelitian menunjukkan bahwa kota seperti Mumbai mengalami bencana banjir parah pada tahun 2005 yang sebagian besar disebabkan oleh saluran drainase yang tersumbat oleh sampah plastik, dan peristiwa serupa terus berulang.
  • Degradasi ekosistem laut dan pantai: Negara-negara seperti Fiji menghadapi masalah parah akibat limbah plastik yang terbawa oleh arus laut dari negara-negara lain. Di pantai-pantai Fiji, limbah plastik berdampak pada ekosistem pantai yang sangat penting bagi sektor pariwisata dan keanekaragaman hayati laut.

2. Biaya Sosial

Negara-negara berkembang juga menanggung dampak sosial yang sangat signifikan dari polusi plastik, yang mencakup:

  • Polusi udara: Salah satu masalah utama di negara-negara berkembang adalah pembakaran terbuka sampah plastik, yang menyebabkan polusi udara beracun. Polusi ini berdampak langsung pada kesehatan masyarakat, menyebabkan penyakit pernapasan dan masalah kesehatan lainnya. Di negara-negara seperti Lao PDR, sekitar sepertiga dari populasi membakar sampah plastik karena kurangnya infrastruktur pengelolaan limbah, yang berkontribusi pada 4.400 kematian setiap tahun akibat polusi udara rumah tangga.
  • Penyebaran penyakit menular: Plastik yang tidak dikelola dengan baik sering kali menyumbat saluran air dan menyebabkan genangan air. Genangan air ini menjadi tempat berkembang biaknya nyamuk yang menyebarkan penyakit seperti demam berdarah dan malaria, yang merupakan ancaman serius bagi kesehatan masyarakat di banyak negara berkembang.

3. Biaya Ekonomi

Polusi plastik menambah beban ekonomi bagi negara-negara berkembang, yang sebagian besar tidak terlibat dalam produksi plastik, namun menanggung dampaknya. WWF mencatat bahwa:

  • 93% dari kematian yang terkait dengan produksi plastik terjadi di negara-negara berpenghasilan rendah dan menengah. Ini disebabkan oleh standar keselamatan dan kesehatan yang lebih rendah dalam proses produksi dan pengelolaan limbah di negara-negara ini. Banyak pekerja yang terlibat dalam pengelolaan sampah informal, yang sering kali tidak aman dan berbahaya bagi kesehatan.
  • Biaya kesehatan dan sosial: Polusi plastik juga menyebabkan beban besar pada sistem perawatan kesehatan di negara berkembang. Misalnya, kontaminasi mikroplastik di lingkungan laut tidak hanya membahayakan kehidupan laut, tetapi juga mempengaruhi manusia yang mengkonsumsi ikan yang terkontaminasi. Di Mozambik, polusi plastik mengurangi populasi ikan, mengancam mata pencaharian para nelayan, dan mengganggu pasokan pangan.

4. Kapasitas Infrastruktur yang Terbatas

Salah satu penyebab utama ketidakadilan dalam dampak polusi plastik adalah kurangnya infrastruktur pengelolaan limbah di negara berkembang. Beberapa temuan WWF antara lain:

  • Di negara-negara berpenghasilan rendah dan menengah, lebih dari 40% sampah plastik dikelola secara tidak aman, melalui pembakaran terbuka atau pembuangan di tempat pembuangan liar yang tidak memenuhi standar lingkungan.
  • Investasi yang diperlukan untuk meningkatkan infrastruktur pengelolaan limbah di negara-negara berkembang diperkirakan mencapai $26 miliar setiap tahun. Namun, investasi ini sering kali di luar jangkauan pemerintah setempat, yang masih berjuang untuk menyediakan layanan dasar seperti kesehatan dan pendidikan.

5. Dampak Jangka Panjang pada Keanekaragaman Hayati

Polusi plastik tidak hanya merugikan manusia, tetapi juga mengancam keanekaragaman hayati. Di negara-negara yang memiliki ekosistem laut yang kaya seperti Brasil dan Indonesia, mikroplastik telah menyusup ke dalam rantai makanan laut. Di Brasil, penelitian menemukan bahwa 99% spesies ikan air tawar di Amazon telah mengonsumsi mikroplastik, yang menunjukkan betapa luasnya masalah ini. Hal ini berdampak besar pada kesehatan ekosistem dan keanekaragaman hayati di negara-negara tersebut.

Ketidakadilan dalam Rantai Nilai Plastik: Tantangan Besar untuk Negara Berkembang

Laporan WWF berjudul Who Pays for Plastic Pollution? mengungkap bahwa negara-negara berpenghasilan rendah dan menengah (LMICs) menanggung beban terbesar dari polusi plastik, meskipun mereka memiliki pengaruh yang sangat kecil dalam menentukan proses produksi plastik global. Ada tiga ketidakadilan struktural utama dalam rantai nilai plastik yang membuat negara-negara berkembang berada dalam posisi yang tidak menguntungkan.

1. Produksi Plastik yang Tidak Dikendalikan oleh Negara Berkembang

Negara-negara berpenghasilan rendah dan menengah umumnya tidak memiliki kontrol atas desain, produksi, dan distribusi produk plastik, meskipun mereka sangat terdampak oleh polusi yang dihasilkan. Mayoritas produk plastik sekali pakai yang mencemari lingkungan di LMICs, seperti kantong plastik, kemasan plastik, dan alat tangkap ikan, diproduksi di negara-negara maju atau negara dengan industri besar, tanpa mempertimbangkan bagaimana negara berkembang dapat mengelola limbah tersebut dengan aman.

  • Desain produk yang tidak ramah lingkungan: Plastik sekali pakai yang masuk ke negara-negara berkembang sering kali dirancang tanpa memikirkan daur ulang atau pengelolaan akhir hidup produk. Sebagai contoh, banyak produk plastik yang diproduksi dengan bahan campuran yang sulit didaur ulang atau bahkan dibuang dengan cara yang aman.
  • Kekuatan industri global: Rantai produksi plastik global didominasi oleh negara-negara maju yang memiliki kontrol atas teknologi, inovasi, dan standar produksi. Sementara itu, negara-negara berkembang menjadi pasar akhir untuk plastik yang sering kali sulit atau bahkan tidak mungkin dikelola secara berkelanjutan. Misalnya, di beberapa negara Afrika, produk plastik sekali pakai terus diproduksi dan diimpor meskipun larangan nasional telah diterapkan.

2. Kapasitas Terbatas untuk Mengelola Limbah

Salah satu ketidakadilan terbesar yang dihadapi oleh negara-negara berkembang adalah ketidakseimbangan antara jumlah plastik yang dikonsumsi dan kapasitas untuk mengelolanya. Ketika konsumsi plastik terus meningkat di seluruh dunia, negara-negara berkembang mengalami kesulitan besar dalam mengatasi volume limbah plastik yang dihasilkan.

  • Infrastruktur yang tidak memadai: Banyak negara berkembang kekurangan infrastruktur dasar untuk pengumpulanpenyortiran, dan pengolahan limbah plastik. Sistem pengelolaan limbah di banyak negara LMICs sering kali tidak dapat menangani tingginya volume limbah plastik, sehingga menyebabkan kebocoran limbah ke sungai, laut, dan lingkungan sekitar. Limbah ini menyebabkan banjirpolusi udara, dan kerusakan ekosistem.
  • Biaya tinggi: Untuk membangun dan memelihara infrastruktur pengelolaan limbah yang memadai, negara-negara berkembang diperkirakan membutuhkan biaya sebesar $26 miliar setiap tahun. Ini termasuk investasi dalam teknologi yang lebih baik untuk daur ulang dan pembuangan limbah yang aman, namun investasi ini sering kali berada di luar jangkauan anggaran nasional yang terbatas.
  • Pembakaran terbuka: Karena kurangnya fasilitas pengelolaan limbah, pembakaran terbuka plastik menjadi praktek umum di banyak negara berkembang. Ini tidak hanya merusak lingkungan tetapi juga menimbulkan risiko kesehatan yang serius, termasuk penyakit pernapasan yang diakibatkan oleh paparan polutan dari pembakaran plastik.

3. Tidak Ada Mekanisme untuk Membagi Tanggung Jawab Biaya Polusi Plastik

Negara-negara berkembang, yang paling terdampak oleh polusi plastik, tidak memiliki mekanisme yang adil untuk membagi tanggung jawab dengan produsen plastik global. Meskipun negara-negara ini menghadapi sebagian besar dampak negatif dari polusi plastik, mereka tidak memiliki pengaruh dalam proses produksi atau desain produk plastik yang masuk ke pasar mereka.

  • Ketiadaan skema pertanggungjawaban global: Tidak adanya Extended Producer Responsibility (EPR) secara global menyebabkan produsen plastik di negara-negara maju tidak bertanggung jawab atas limbah yang mereka hasilkan di negara lain. EPR adalah mekanisme yang mengharuskan produsen untuk bertanggung jawab atas pengelolaan akhir hidup produk yang mereka buat, termasuk daur ulang dan pembuangan yang aman.
  • Asimetri kekuatan: Negara-negara berpenghasilan rendah dan menengah memiliki kekuatan yang terbatas untuk mempengaruhi keputusan di tingkat internasional, terutama dalam produksi dan konsumsi plastik global. Mereka sering kali tidak dapat mendikte aturan atau mengontrol pasar plastik, sehingga hanya menjadi penerima dampak buruk dari plastik yang dihasilkan oleh negara-negara maju.

Tiga ketidakadilan utama 

Tiga ketidakadilan utama dalam rantai nilai plastik—yaitu produksi plastik yang tidak dikendalikan oleh negara berkembang, kapasitas terbatas untuk mengelola limbah, dan tidak adanya mekanisme pertanggungjawaban global—menunjukkan bahwa negara-negara berpenghasilan rendah dan menengah tidak hanya menjadi korban dari krisis polusi plastik, tetapi juga dibiarkan tanpa solusi yang memadai. Untuk mengatasi masalah ini, perjanjian global yang mengikat yang mempromosikan tanggung jawab bersama dan solusi yang adil sangat diperlukan.

WWF menekankan pentingnya mekanisme global yang memungkinkan negara berkembang untuk berpartisipasi dalam proses pengambilan keputusan, serta menciptakan standar global yang adil dalam produksi, distribusi, dan pengelolaan plastik secara bertanggung jawab.

Data dan Fakta Mengenai Krisis Polusi Plastik

Data yang disoroti dalam laporan WWF mengungkap besarnya masalah ini:

  • 93% dari kematian akibat produksi plastik terjadi di negara berkembang.
  • Biaya polusi plastik untuk negara-negara berpenghasilan rendah mencapai 10 kali lebih tinggi dibandingkan negara maju.
  • Pada tahun 2019, sebanyak 2 juta truk sampah penuh plastik mengalir ke laut global. Jika tidak ada tindakan yang diambil, jumlah ini akan meningkat hingga 90% pada tahun 2040.
  • Rata-rata, negara berkembang mengonsumsi 3 kali lebih sedikit plastik per kapita, tetapi mereka harus menanggung beban polusi yang jauh lebih besar.

Contoh Kasus: Negara Kepulauan Kecil

Negara-negara seperti Fiji, yang memiliki 1.129 km garis pantai, menjadi korban utama polusi plastik laut. Fiji yang sangat bergantung pada industri pariwisata mengalami peningkatan 7 kali lipat limbah plastik per orang akibat lonjakan wisatawan. Limbah plastik yang terbawa arus laut dari berbagai negara juga memperburuk kondisi pantai-pantainya, yang secara langsung mengancam mata pencaharian lokal.

Solusi untuk Mengakhiri Polusi Plastik: Pentingnya Perjanjian Global

Laporan WWF menyerukan tindakan global yang mendesak dan terkoordinasi untuk mengatasi krisis polusi plastik. Beberapa solusi yang diusulkan termasuk:

  1. Larangan Global terhadap Produk Plastik Berisiko Tinggi
    Perjanjian global yang mengikat harus mencakup larangan dan penghapusan produk plastik berisiko tinggi, seperti plastik sekali pakai dan alat tangkap ikan yang menjadi sumber utama polusi laut.
  2. Ekonomi Sirkular yang Aman
    Negara-negara harus diharuskan untuk memprioritaskan desain produk yang mendukung ekonomi sirkular, di mana plastik didaur ulang dan tidak berakhir di tempat pembuangan akhir. Ini mencakup standar desain global yang aman dan tidak beracun.
  3. Mekanisme Dukungan Keuangan untuk Negara Berkembang
    Negara-negara berpenghasilan rendah dan menengah membutuhkan dukungan keuangan dan teknis yang cukup untuk meningkatkan kapasitas pengelolaan limbah mereka. Tanpa ini, negara-negara tersebut akan terus mengalami dampak terburuk dari polusi plastik.
  4. Transisi yang Adil
    WWF menekankan pentingnya transisi yang adil yang melibatkan masyarakat yang paling rentan terhadap polusi plastik. Proses pengambilan keputusan harus inklusif dan transparan, memastikan bahwa setiap negara memiliki kesempatan untuk berpartisipasi.
Polusi plastik masalah global yang memerlukan solusi di tingkat internasional

Polusi plastik adalah masalah global yang memerlukan solusi bersama di tingkat internasional. Negara-negara berkembang yang paling sedikit berkontribusi pada produksi plastik justru menanggung dampak yang paling besar. Tanpa aturan global yang mengikat, polusi plastik akan terus meningkat, merusak ekosistem laut dan berdampak buruk bagi kesehatan manusia serta ekonomi. Laporan WWF memberikan seruan kuat bagi negara-negara untuk bekerja sama dalam perjanjian global yang menghentikan produksi plastik yang merusak dan memastikan bahwa semua negara memiliki kapasitas untuk mengelola limbah secara berkelanjutan.

Artikel Lainnya Terkait Issue Sampah Plastik

 

Ditulis Oleh Yudi Wahyudi Sebagai Bentuk Penguatan Kampanye Plastic Smart Cities dan Aplikasi AKSI yang merupakan salah satu kegiatan strategis WWF Indonesia

Download Aplikasi AKSI dan Ambil Peranmu untuk Kurangi Sampah Plastik

Gabung sebagai nasabah Plastic Smart Cities sekarang dan dapatkan berbagai keuntungan dari menjaga lingkungan.

scan disini

qrcode wwf

Atau dapatkan di

Panduan Aplikasi AKSI

WWF Indonesia

 

Baca lengkap publikasi ini
Artikel Lainnya
Publikasi Lainnya